Siang itu matahari sepertinya sedang murah hati,
sinarnya yang terik terkesan tidak mau meninggalkan satu sudut kota yang gelap sekalipun.
Dan dalam keramaian kota yang memproduksi polusi tiada henti itu, seorang gadis
mengibaskan rambut hitamnya yang panjang dan berjalan memasuki sebuah toko kue
yang cukup ternama. Dengan langkah ringan dalam sepatu high heelsnya, dia mulai melihat-lihat kue yang dipajang di etalase
toko. Gadis itu mengembangkan senyumnya ketika matanya menemukan apa yang dia
cari.
“Mau
kue yang mana mbak?” tanya penjaga toko memecah senyum gadis itu.
“Tolong
brownies yang itu 2 ya?” kata gadis itu sambil tersenyum, melanjutkan senyum
yang tadi sempat terhenti. Penjaga toko pun langsung mengambil 2 kardus
brownies dengan taburan chocolate chips
dan almond di atasnya.
“Ada
lagi mbak?”
“Oiya,
sama 1 strawberry cheese cake dan 1 blueberry cheese cake.” kata gadis itu
setelah tiba-tiba teringat adik kekasihnya yang hobi makan cheese cake.
“Bayarnya
di kasir ya mbak.”
“Iya,
terimakasih.” kata gadis itu sambil berjalan menuju kasir.
“Hey
Sintaaa!”
Gadis
yang bernama Sinta itu menoleh ke belakang dan menemukan Tanti berjalan
mendekatinya yang sedang membayar harga kue-kue tadi di kasir.
“Eh
Tanti, mau beli kue juga?”
“Iya
Sin. Gila banyak banget kamu beli kuenya.. Hmmmm, pasti mau ke rumah calon
mertua ya Sin?”
“Hehehe,
iya nih Tan, kemaren kan Gisha, adek si Dewangga baru aja kecelakaan, ini mau
nengok lagi. Dia kan suka banget kue-kue kayak gini, makanya sengaja dibeliin
banyak.”
“Iya
deh yang mau nikah. Udah akrab gitu ama keluarganya.”
“Hahaha,
amiiiiin. Eh aku udahan nih. Duluan ya Tan.”
“Oke
Sinta. Salam buat Dewangga ama keluarganya ya?”
“Oke!”
“Mbak,
bisa liat cincin ini gak?”
“Yang
ini ya mas? Waaaah, buat ngelamar pacarnya ya mas? Cocok banget cincin yang
ini. Pilihan mas gak salah, ini cincin bagus.” Ucapan penjaga toko yang tanpa
henti itu hanya disambut oleh senyuman lelaki yang tengah sibuk melihat setiap
detail dari cincin yang ditaksirnya.
“Ukuran
jari pacar mas berapa?”
“Saya
gak pernah beli cincin sebelumnya mbak, jadi saya gak tau. Tapi saya bawa
contoh cincin pacar saya. Bisa gak ya?”
“Bisa
dong mas. Bisa saya liat cincinnya?”
Lelaki
itu mengangguk seraya mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya dan memberikannya
pada penjaga toko. Penjaga toko itu langsung sibuk memilah-milah cincin sejenis
yang berukuran sama dengan cincin yang dibawa lelaki itu. Sementara itu,
pandangan lelaki itu tertuju pada toko bunga di seberang. Matanya tertuju pada
buket bunga mawar merah yang masih segar berseri dan bibirnya pun
menyunggingkan senyuman manis, membentuk bulan sabit.
“Mas,
kalo yang ini gimana?” suara itu memecahkan lamunan lelaki itu dan membuat
lelaki itu sedikit gelagapan karena kaget.
“Oh
iya, yang ini ya… Hmmm.. kayaknya cocok deh mbak. Yang ini aja mbak.”
---
“Ini
cincin yang kamu beli?”
“Iya
Tiara, gimana menurut kamu? Cantik kan?”
Lelaki
itu memperhatikan sahabat kentalnya yang sedang melihat cincin itu dengan
seksama.
“Iya.
Cantik banget. Lamaran kamu pasti langsung diterima. Lagian kan, kalian udah
pacaran lama banget. 5 tahun. Gak ada alasan buat dia untuk nolak kamu. Tapi
kamu seriusan mau menikahi Sinta?”
“Iya,
emang kenapa Ti? Ada yang salah dengan itu?”
“Sebenernya
gak ada yang salah. Tapi Dewangga, kamu tahu kan kondisi Sinta? Dia sakit. Dan
kita tidak tahu apakah dia bisa sembuh atau tidak. Kita juga tidak tahu berapa
lama dia akan hidup. Kita tidak tahu apakah kanker yang dia punya sudah meyebar
atau belum. Kita….” Ucapan Tiara terputus ketika dia melihat sahabat dari kecilnya
menatapnya dengan tajam.
“Maaf
Ti, aku gak bermaksud,” kata Dewangga sambil mengalihkan pandangannya ke awang-awang.
Tatapan lelaki itu berubah menjadi lebih sayu. Raut mukanya yang tadi memancarkan
kebahagiaan telah sirna dalam sekejap. “Aku gak keberatan Ti. Aku cinta ama
Sinta. Aku sayang ama dia. Selama aku masih bisa menghabiskan waktu dengan dia,
aku tidak keberatan dengan apa yang akan terjadi dengan kami nanti.” Kata lelaki
itu, melanjutkan dengan suara yang pelan tetapi mantap. Keteguhan hati terpatri
dari tiap kata-kata yang dia keluarkan.
“Aku
hanya bisa berdoa untuk kebahagian kalian.
Makanya kalo ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan cerita ke aku ya Ngga”
Tiara berkata lembut dan tersenyum pada Dewangga.
“Thank you dear. Kamu memang sahabatku
yang paling baik. Oiya, aku udah harus balik ke kantor. Aku balik duluan ya. Kamu
gak papa kan disini sendiri?”
“Iya
santai aja Ngga.”
“Bye Ti. Doakan nanti malam berjalan
lancar ya?” Dewangga mengambil handphone yang diletakkannya di meja dan
kemudian beranjak dari kursi.
“Oke,
semoga lancar.” Jawab gadis itu sambil tersenyum semanis mungkin. ”Hati-hati ya.”
Lanjut gadis itu dan dibalas dengan senyuman manis Dewangga.
Tiara
masih melihat kepergian Dewangga. Bahkan setelah bayangan lelaki itu telah
hilang dari sudut matanya. Tiara melihat kepergian harapannya. Melihat
kepergian cinta pertamanya. Dan tiba-tiba air matanya menetes. Sesuatu yang tidak
bisa dikontrolnya.
“Ah
menyedihkan.” Tiara berbisik kecil pada dirinya sendiri, tersenyum hampa dan
memainkan gelas kopi yang ada di depannya. Isi kopi itu tinggal setengah.
---
Sinta
keluar dari mobil yang telah dia parkir di depan rumah Dewangga. Hari itu sudah
sore dan matahari yang tadi bersinar sudah mulai meredupkan sinarnya.
Sepertinya dia telah lelah karena siang tadi sudah terlalu bermurah hati
bersinar. Dengan langkah yang mantap dia menyusuri pekarangan Dewangga yang
asri. Ibu Dewangga memang suka sekali berkebun, jadi tidak heran jika banyak
sekali tanaman dan bunga-bunga yang mewarnai taman kecil itu. Dan Sinta suka
sekali berada di taman itu, memunculkan suasana yang nyaman dan tenteram.
“Bagaimana
ini Yah? Apa yang akan kita bilang pada Dewangga?” Tiba-tiba terdengar suara
wanita paruh baya dari ruang tamu yang menghentikan langkah Sinta dan
membungkam mulut Sinta yang sudah terbuka untuk mengucap salam. Entah ada
kekuatan apa yang menghentikan gadis itu. Dia merasa ada sesuatu yang serius,
suatu dunia yang saat itu tidak boleh dia masuki begitu saja. Sinta terdiam dan
berdiri seperti patung, menunggu perkataan atau kejadian yang mungkin akan
terjadi setelahnya. Batin nya tidak tenang. Pikirannya berkecamuk.
Apakah
orang tua Dewangga sudah tahu bahwa aku sakit? Apakah mereka melarang aku dan
Dewangga untuk melanjutkan ke hubungan yang serius? Aku tahu diri. Aku
sebenarnya tidak pantas mendapatkan Dewangga. Aku tidak berhak mengambil masa
depannya.
Pikiran
demi pikiran seperti itu meracuni otaknya sedikit demi sedikit. Ketakutan akan
kehilangan orang yang dicintainya memenuhi dada dan membuatnya tidak bisa
bernafas dengan lancar. Sesak. Sakit.
“Aku
juga bingung Bu. Aku tidak menyangka kalau hal itu bisa terjadi pada Dewangga. Tetapi
kecelakaan Gisha membuat kita tahu penyakit Dewangga. Paling tidak sekarang
kita sudah tahu.”
Penyakit??
Gadis itu semakin menajamkan pendengarannya.
“Kita
tidak tahu sampai kapan Dewangga akan bisa bertahan. Bagaimana ini kalau
Dewangga tahu dia terkena Leukimia? Bagaimana ini kalau dia depresi? Bagaimana
dengan Sinta? Bagaimana ini Yah?” wanita separuh baya itu mulai terisak. Isakan
yang dipenuhi kebingungan dan kesedihan yang mendalam.
Leukimia?
Sinta tertegun. Kakinya seperti tidak menapak ke tanah. Badannya seperti berada
di awang-awang. Tubuhnya lemas.
“Sintaa???!!”
tiba-tiba suara ibu Dewangga memecah keheningan. Sinta kaget dan akhirnya dia
menyadari bahwa kue-kue yang dibawanya telah jatuh. Dia menyadari bahwa air
mata telah membanjiri matanya. Tuhan, kenapa ini juga terjadi pada Dewangga?
Kenapa?
---
Sinta
sibuk bermake up. Dia terlalu sibuk
mencari cara bagaimana menyamarkan matanya yang membengkak. Tiba-tiba telepon bordering.
Dari Dewangga.
“Hon,
aku udah di depan kost kamu. Kamu keluar ya?”
“Iya
hon. Tunggu sebentar.”
Sinta
telah berdandan secantik mungkin sesuai dengan pemintaan Dewangga. Dia
tersenyum manis ketika melihat kekasihnya sedang menunggunya, bersandar pada
mobilnya.
“Hon,
sumpah ya, kamu cantik banget!” kata Dewangga takjub melihat Sinta, sambil
memperhatikan gaun yang dipakai Sinta. Gaun hadiah ulang tahun Sinta yang ke-24
dari Dewangga.
“Kamu
mau bawa aku kemana sih Hon?” tanya Sinta ketika mereka berdua sudah berada di
dalam mobil.
“Dinner Hon.” Dewangga menjawab
sekenanya.
“Iya
dinner. Tapi kan gak biasanya kamu
ngajak dinner aku dan kamu tiba-tiba
nyuruh aku dandan cantik. Biasanya kamu kalo ngajak makan ya makan aja.”
Dewangga
cuma tertawa. Dia tidak menjawab pertanyaan Sinta. Sebagai balasan, dia melihat
ke arah Sinta dan mengedipkan matanya genit. Mencoba menggoda Sinta dan bermain
dengan amarah kekasihnya itu.
“Ah
kamu ini... Dasar emang!” gerutu Sinta sambil memberantakkan rambut Dewangga
yang masih tertawa.
Setelah
perjalanan beberapa menit, sampailah mereka di kampus tempat dulu Sinta dan
Dewangga kuliah. Sinta terkejut dan bertanya-tanya dalam hati ketika Dewangga
menggandeng tangannya dan membimbing Sinta, mengajaknya ke taman belakang.
Taman belakang kampus mereka ternyata tidak terlalu menyeramkan ketika malam
hari. Ada hiasan-hiasan cantik, lampu-lampu cantik, meja dan kursi yang cantik,
dan sebuket bunga yang cantik pula. Dewangga mungkin telah menghiasnya dan
menyulap taman belakang yang menyeramkan itu menjadi sebuah taman yang indah. Love is magic..
“Heh?
disini Hon?? Serius ya, ini indah banget. Kamu yang nyiapin ini??”
“Iya
Hon. Disini kan pertama kalinya kita bertemu, aku pengen kita berada di tempat
kenangan ini lagi Hon.” Dewangga berkata sambil tersenyum, sebelum melanjutkan
perkataannya, Dewangga sempat menghela nafas. Menetapkan hatinya. Memantapkan setiap
perkataannya. “Dengerin aku Hon, aku sayang banget sama kamu Hon. Kamu mau gak
jadi pendamping hidup aku? Aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu Hon.” Dewangga
berkata seraya memberikan kotak cincin yang tadi telah dibelinya siang tadi.
Sinta
terdiam, dan tiba-tiba pikirannya melayang ke kejadian sore tadi. Air matanya
mengalir lagi. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Sinta menangis.
Hatinya terkoyak mendengar ucapan Dewangga. Sisa hidup Dewangga. Dia tidak
pernah merasa senang penyakit yang sama diderita juga oleh orang yang
dikasihinya. Dia tidak rela. Tapi bagaimana lagi? Dewangga juga belum tahu.
Andai Dewangga tidak berniat menyumbangkan darah pada Gisha. Andai Dewangga
tidak memeriksakan darahnya waktu itu. Tetapi penyakit Dewangga tidak akan
diketahui secepat ini. Paling tidak, tidak terlambat untuk memperbaiki hidup.
Tetapi, tetapi kenapa harus penyakit yang sama? Kenapa Tuhan?
“Hon,
kok kamu malah nangis? Kenapa? Kamu keberatan?”
Sinta
tidak menjawab. Dia hanya menggeleng. Dia hanya memberikan jari manisnya. Dewangga
tersenyum dan memakaikan cincin itu ke jari manis Sinta.
“Aku
juga ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu Hon.”
*leukimia lagiii (>,<)... ah terpengaruh pelm2 korea (0.o)
kue dan kenangan indah. hehe..
ReplyDeleteak dah folloback.. sip besok ditunggu ja pasti dapat penghargaan juga :D
amiiiiiin hahaha...
Deletemakasih ya ^^
hehe.. salam kenal dan salam mampir2 ke blog :D
Deletesiaaap :D
Deletejangan lupa tinggalkan jejak dan follow back ya :D
ReplyDeleteoke laksanakan :D
Delete