Friday, January 27, 2012

coretan - sweet misery


               Siang itu matahari sepertinya sedang murah hati, sinarnya yang terik terkesan tidak mau meninggalkan satu sudut kota yang gelap sekalipun. Dan dalam keramaian kota yang memproduksi polusi tiada henti itu, seorang gadis mengibaskan rambut hitamnya yang panjang dan berjalan memasuki sebuah toko kue yang cukup ternama. Dengan langkah ringan dalam sepatu high heelsnya, dia mulai melihat-lihat kue yang dipajang di etalase toko. Gadis itu mengembangkan senyumnya ketika matanya menemukan apa yang dia cari.
                “Mau kue yang mana mbak?” tanya penjaga toko memecah senyum gadis itu.
                “Tolong brownies yang itu 2 ya?” kata gadis itu sambil tersenyum, melanjutkan senyum yang tadi sempat terhenti. Penjaga toko pun langsung mengambil 2 kardus brownies dengan taburan chocolate chips dan almond di atasnya.
                “Ada lagi mbak?”
                “Oiya, sama 1 strawberry cheese cake dan 1 blueberry cheese cake.” kata gadis itu setelah tiba-tiba teringat adik kekasihnya yang hobi makan cheese cake.
                “Bayarnya di kasir ya mbak.”
                “Iya, terimakasih.” kata gadis itu sambil berjalan menuju kasir.
                “Hey Sintaaa!”
                Gadis yang bernama Sinta itu menoleh ke belakang dan menemukan Tanti berjalan mendekatinya yang sedang membayar harga kue-kue tadi di kasir.
                “Eh Tanti, mau beli kue juga?”
                “Iya Sin. Gila banyak banget kamu beli kuenya.. Hmmmm, pasti mau ke rumah calon mertua ya Sin?”
                “Hehehe, iya nih Tan, kemaren kan Gisha, adek si Dewangga baru aja kecelakaan, ini mau nengok lagi. Dia kan suka banget kue-kue kayak gini, makanya sengaja dibeliin banyak.”
                “Iya deh yang mau nikah. Udah akrab gitu ama keluarganya.”
                “Hahaha, amiiiiin. Eh aku udahan nih. Duluan ya Tan.”
                “Oke Sinta. Salam buat Dewangga ama keluarganya ya?”
                “Oke!”
---


                “Mbak, bisa liat cincin ini gak?”
                “Yang ini ya mas? Waaaah, buat ngelamar pacarnya ya mas? Cocok banget cincin yang ini. Pilihan mas gak salah, ini cincin bagus.” Ucapan penjaga toko yang tanpa henti itu hanya disambut oleh senyuman lelaki yang tengah sibuk melihat setiap detail dari cincin yang ditaksirnya.
                “Ukuran jari pacar mas berapa?”
                “Saya gak pernah beli cincin sebelumnya mbak, jadi saya gak tau. Tapi saya bawa contoh cincin pacar saya. Bisa gak ya?”
                “Bisa dong mas. Bisa saya liat cincinnya?”
                Lelaki itu mengangguk seraya mengeluarkan sebuah cincin dari sakunya dan memberikannya pada penjaga toko. Penjaga toko itu langsung sibuk memilah-milah cincin sejenis yang berukuran sama dengan cincin yang dibawa lelaki itu. Sementara itu, pandangan lelaki itu tertuju pada toko bunga di seberang. Matanya tertuju pada buket bunga mawar merah yang masih segar berseri dan bibirnya pun menyunggingkan senyuman manis, membentuk bulan sabit.
                “Mas, kalo yang ini gimana?” suara itu memecahkan lamunan lelaki itu dan membuat lelaki itu sedikit gelagapan karena kaget.
                “Oh iya, yang ini ya… Hmmm.. kayaknya cocok deh mbak. Yang ini aja mbak.”
---
                “Ini cincin yang kamu beli?”
                “Iya Tiara, gimana menurut kamu? Cantik kan?”
                Lelaki itu memperhatikan sahabat kentalnya yang sedang melihat cincin itu dengan seksama.
                “Iya. Cantik banget. Lamaran kamu pasti langsung diterima. Lagian kan, kalian udah pacaran lama banget. 5 tahun. Gak ada alasan buat dia untuk nolak kamu. Tapi kamu seriusan mau menikahi Sinta?”
                “Iya, emang kenapa Ti? Ada yang salah dengan itu?”
                “Sebenernya gak ada yang salah. Tapi Dewangga, kamu tahu kan kondisi Sinta? Dia sakit. Dan kita tidak tahu apakah dia bisa sembuh atau tidak. Kita juga tidak tahu berapa lama dia akan hidup. Kita tidak tahu apakah kanker yang dia punya sudah meyebar atau belum. Kita….” Ucapan Tiara terputus ketika dia melihat sahabat dari kecilnya menatapnya dengan tajam.
                “Maaf Ti, aku gak bermaksud,” kata Dewangga sambil mengalihkan pandangannya ke awang-awang. Tatapan lelaki itu berubah menjadi lebih sayu. Raut mukanya yang tadi memancarkan kebahagiaan telah sirna dalam sekejap. “Aku gak keberatan Ti. Aku cinta ama Sinta. Aku sayang ama dia. Selama aku masih bisa menghabiskan waktu dengan dia, aku tidak keberatan dengan apa yang akan terjadi dengan kami nanti.” Kata lelaki itu, melanjutkan dengan suara yang pelan tetapi mantap. Keteguhan hati terpatri dari tiap kata-kata yang dia keluarkan.
                “Aku hanya bisa berdoa untuk kebahagian kalian.  Makanya kalo ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan cerita ke aku ya Ngga” Tiara berkata lembut dan tersenyum pada Dewangga.
                “Thank you dear. Kamu memang sahabatku yang paling baik. Oiya, aku udah harus balik ke kantor. Aku balik duluan ya. Kamu gak papa kan disini sendiri?”
                “Iya santai aja Ngga.”
                “Bye Ti. Doakan nanti malam berjalan lancar ya?” Dewangga mengambil handphone yang diletakkannya di meja dan kemudian beranjak dari kursi.
                “Oke, semoga lancar.” Jawab gadis itu sambil tersenyum semanis mungkin. ”Hati-hati ya.” Lanjut gadis itu dan dibalas dengan senyuman manis Dewangga.
                Tiara masih melihat kepergian Dewangga. Bahkan setelah bayangan lelaki itu telah hilang dari sudut matanya. Tiara melihat kepergian harapannya. Melihat kepergian cinta pertamanya. Dan tiba-tiba air matanya menetes. Sesuatu yang tidak bisa dikontrolnya.
                “Ah menyedihkan.” Tiara berbisik kecil pada dirinya sendiri, tersenyum hampa dan memainkan gelas kopi yang ada di depannya. Isi kopi itu tinggal setengah.
---
                Sinta keluar dari mobil yang telah dia parkir di depan rumah Dewangga. Hari itu sudah sore dan matahari yang tadi bersinar sudah mulai meredupkan sinarnya. Sepertinya dia telah lelah karena siang tadi sudah terlalu bermurah hati bersinar. Dengan langkah yang mantap dia menyusuri pekarangan Dewangga yang asri. Ibu Dewangga memang suka sekali berkebun, jadi tidak heran jika banyak sekali tanaman dan bunga-bunga yang mewarnai taman kecil itu. Dan Sinta suka sekali berada di taman itu, memunculkan suasana yang nyaman dan tenteram.
                “Bagaimana ini Yah? Apa yang akan kita bilang pada Dewangga?” Tiba-tiba terdengar suara wanita paruh baya dari ruang tamu yang menghentikan langkah Sinta dan membungkam mulut Sinta yang sudah terbuka untuk mengucap salam. Entah ada kekuatan apa yang menghentikan gadis itu. Dia merasa ada sesuatu yang serius, suatu dunia yang saat itu tidak boleh dia masuki begitu saja. Sinta terdiam dan berdiri seperti patung, menunggu perkataan atau kejadian yang mungkin akan terjadi setelahnya. Batin nya tidak tenang. Pikirannya berkecamuk.
                Apakah orang tua Dewangga sudah tahu bahwa aku sakit? Apakah mereka melarang aku dan Dewangga untuk melanjutkan ke hubungan yang serius? Aku tahu diri. Aku sebenarnya tidak pantas mendapatkan Dewangga. Aku tidak berhak mengambil masa depannya.
                Pikiran demi pikiran seperti itu meracuni otaknya sedikit demi sedikit. Ketakutan akan kehilangan orang yang dicintainya memenuhi dada dan membuatnya tidak bisa bernafas dengan lancar. Sesak. Sakit.
                “Aku juga bingung Bu. Aku tidak menyangka kalau hal itu bisa terjadi pada Dewangga. Tetapi kecelakaan Gisha membuat kita tahu penyakit Dewangga. Paling tidak sekarang kita sudah tahu.”
                Penyakit?? Gadis itu semakin menajamkan pendengarannya.
                “Kita tidak tahu sampai kapan Dewangga akan bisa bertahan. Bagaimana ini kalau Dewangga tahu dia terkena Leukimia? Bagaimana ini kalau dia depresi? Bagaimana dengan Sinta? Bagaimana ini Yah?” wanita separuh baya itu mulai terisak. Isakan yang dipenuhi kebingungan dan kesedihan yang mendalam.
                Leukimia? Sinta tertegun. Kakinya seperti tidak menapak ke tanah. Badannya seperti berada di awang-awang. Tubuhnya lemas.
                “Sintaa???!!” tiba-tiba suara ibu Dewangga memecah keheningan. Sinta kaget dan akhirnya dia menyadari bahwa kue-kue yang dibawanya telah jatuh. Dia menyadari bahwa air mata telah membanjiri matanya. Tuhan, kenapa ini juga terjadi pada Dewangga? Kenapa?  
---
                Sinta sibuk bermake up. Dia terlalu sibuk mencari cara bagaimana menyamarkan matanya yang membengkak. Tiba-tiba telepon bordering. Dari Dewangga.
                “Hon, aku udah di depan kost kamu. Kamu keluar ya?”
                “Iya hon. Tunggu sebentar.”
                Sinta telah berdandan secantik mungkin sesuai dengan pemintaan Dewangga. Dia tersenyum manis ketika melihat kekasihnya sedang menunggunya, bersandar pada mobilnya.
                “Hon, sumpah ya, kamu cantik banget!” kata Dewangga takjub melihat Sinta, sambil memperhatikan gaun yang dipakai Sinta. Gaun hadiah ulang tahun Sinta yang ke-24 dari Dewangga.
                “Kamu mau bawa aku kemana sih Hon?” tanya Sinta ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil.
                “Dinner Hon.” Dewangga menjawab sekenanya.
                “Iya dinner. Tapi kan gak biasanya kamu ngajak dinner aku dan kamu tiba-tiba nyuruh aku dandan cantik. Biasanya kamu kalo ngajak makan ya makan aja.”
                Dewangga cuma tertawa. Dia tidak menjawab pertanyaan Sinta. Sebagai balasan, dia melihat ke arah Sinta dan mengedipkan matanya genit. Mencoba menggoda Sinta dan bermain dengan amarah kekasihnya itu.
                “Ah kamu ini... Dasar emang!” gerutu Sinta sambil memberantakkan rambut Dewangga yang masih tertawa.
                Setelah perjalanan beberapa menit, sampailah mereka di kampus tempat dulu Sinta dan Dewangga kuliah. Sinta terkejut dan bertanya-tanya dalam hati ketika Dewangga menggandeng tangannya dan membimbing Sinta, mengajaknya ke taman belakang. Taman belakang kampus mereka ternyata tidak terlalu menyeramkan ketika malam hari. Ada hiasan-hiasan cantik, lampu-lampu cantik, meja dan kursi yang cantik, dan sebuket bunga yang cantik pula. Dewangga mungkin telah menghiasnya dan menyulap taman belakang yang menyeramkan itu menjadi sebuah taman yang indah. Love is magic..
                “Heh? disini Hon?? Serius ya, ini indah banget. Kamu yang nyiapin ini??”
                “Iya Hon. Disini kan pertama kalinya kita bertemu, aku pengen kita berada di tempat kenangan ini lagi Hon.” Dewangga berkata sambil tersenyum, sebelum melanjutkan perkataannya, Dewangga sempat menghela nafas. Menetapkan hatinya. Memantapkan setiap perkataannya. “Dengerin aku Hon, aku sayang banget sama kamu Hon. Kamu mau gak jadi pendamping hidup aku? Aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu Hon.” Dewangga berkata seraya memberikan kotak cincin yang tadi telah dibelinya siang tadi.
                Sinta terdiam, dan tiba-tiba pikirannya melayang ke kejadian sore tadi. Air matanya mengalir lagi. Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi. Sinta menangis. Hatinya terkoyak mendengar ucapan Dewangga. Sisa hidup Dewangga. Dia tidak pernah merasa senang penyakit yang sama diderita juga oleh orang yang dikasihinya. Dia tidak rela. Tapi bagaimana lagi? Dewangga juga belum tahu. Andai Dewangga tidak berniat menyumbangkan darah pada Gisha. Andai Dewangga tidak memeriksakan darahnya waktu itu. Tetapi penyakit Dewangga tidak akan diketahui secepat ini. Paling tidak, tidak terlambat untuk memperbaiki hidup. Tetapi, tetapi kenapa harus penyakit yang sama? Kenapa Tuhan?
                “Hon, kok kamu malah nangis? Kenapa? Kamu keberatan?”
                Sinta tidak menjawab. Dia hanya menggeleng. Dia hanya memberikan jari manisnya. Dewangga tersenyum dan memakaikan cincin itu ke jari manis Sinta.
                “Aku juga ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu Hon.”



*leukimia lagiii (>,<)... ah terpengaruh pelm2 korea (0.o)

6 comments: